|
GAMBARAN HASIL
PENERAPAN TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK “SOSIALISASI” PADA KLIEN MENARIK DIRI DI
RUANG DAHLIA RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI MATARAM
OLEH
MUHAMMAD SYAFI’I
09.9.1.37
PROGRAM STUDI
KEPERAWATAN (DIII)
FAKULTAS ILMU
KESEHATAN
UNIVERSITAS
NAHDLATUL WATHAN MATARAM
2012
|
|
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan, manusia harus mengatasi masalah
terus-menerus untuk menjaga keseimbangan atau balance antara stress dan mekanisme
koping (Purwaningsih, 2010).Gangguan hubungan sosial merupakan suatu gangguan
keperibadian yang tidal( fleksibel, tingkah laku maladaftive dan mengganggu
fungsi individu dalam hubungan sosialnya. Menarik diri merupakan percobaan
untuk menghindari interaksi dengan orang lain (Sutrisno, 2008).
1
|
Berdasarkan data badan kesehatan dunia atau WHO pada
tahun 2009 memperkirakan 194 juta jiwa atau 5,1 % dari 3,8 miliar penduduk
dunia usia 20-79 tahun menderita gangguan jiwa (Suyono, 2009). Di Indonesia
menurut data WHO pada tahun 2008 mengungkapkan kurang lebih 36 juta penduduk
Indonesia mengalami gangguan jiwa, sedangkan di RSJP Mataram pada tahun 2009
klien gangguan jiwa yang dirawat jalan berjumlah 264 pengunjung. Kasus yang di
tangani oleh RSJP Mataram adalah gangguan paranoid berjumlah 60 orang,
skizoprenia berjumlah 50 orang, depresi berjumlah 35 orang, epilepsy berjumlah
47 orang, gangguan afektif berjumlahh 33 orang, ketergantungan obat dan lainnya
berjumlah 50 orang.
Adapun data-data klien gangguan jiwa dari tahun
2009-2012 di RSJP Mataram sebagai berikut Tahun 2009 kasus terbanyak dengn
menarik diri berjumlah 186 orang, tahun 2010 kasus menarik diri berjumlah 163
orang, tahun 2011 kasus menarik diri berjumlah 150 orang dan pada tahun 2012
kasus menarik diri berjumlah 40 orang. Sedangkan data yang menarik diri di
ruang dahlia dari bulan 1 sampai bulan 6 berjumlah 8 orang.
Dari permasalahan gejala menarik diri tersebut,
dibutuhkan rehabilitatif yang bertujuan untuk meningkatkan ekpresi diri,
meningkatkan kemampuan untuk berintraksi, meningkatkan keterampilan sosial,
meningkatkan pola penyelelesain permasalahan. Salah satu dari unit
rehabilitatif untuk mengatasi gangguan interaksi pada klien gangguan jiwa khususnya
gejala menarik diri yaitu dengan terapi aktifitas kelompok. Terapi aktifitas
kelompok merupakan bagian dari terafi modalitas yang berupaya meningkatkan
psikoterapi dengan sejumlah klien dalam jumlah yang bersamaan. Terapi ini
jarang di laksanakan akan tetapi dengan terapi ini diharapkan dapat memacu
klien untuk dapat interaksi sesama klien lainnya yang mengalami gangguan
kejiwaan khusunya pada klien yang mengalami gangguan menarik diri. Sehingga
pasien dengan menarik diri dapat melatih diri untuk bersosialisasi dengan orang
lain di sekitarnya.
Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka
penulis tertarik untuk membuat Proposal dengan judul “Gambaran Hasil Penerapan
Terapi Aktifitas Kelompok (Sosialisasi) Sessi 1 Pada Klien Menarik Diri Diruang
Dahlia RSJP Mataram”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka permasalan yang akan
penulis angkat dalam proposal ini adalah “Bagaimanakah Hasil Penerapan Terapi
Aktifitas Kelompok (Sosialisasi) Sesi 1 pada klien menarik diri diruang dahlia
RSJP Mataram?”
1.3 Tujuan
Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Untuk mengetahui hasil penerapan terapi aktifitas
kelompok pada klien dengan menarik diri di RSJP Mataram.
1.3.2
Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi
pasien yang menarik diri
2. Mengidentifikasi
gambaran hasil penerapan terapi aktivitas kelompok.
1.4 Manfaat
Penelitian
1.4.1
Bagi Masyarakat
Dapat memberikan informasi tentang manfaat dari
Terapi Aktivitas Kelompok dirumah secara mandiri.
1.4.2
Bagi
Pengembangan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Keperawatan
Sebagai salah satu sumber informasi bagi pelaksanaan
studi kasus bidang keperawatan tentang hasil terapi aktifitas sosialisasi pada
klien dengan menarik diri pada masa yang akan datang dalam rangka peningkatan
ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan.
1.4.3
Bagi Penulis
Memperoleh pengalaman dalam melaksanakan aplikasi
riset keperawatan ditatanan pelayanan keperawatan, khususnya tentang studi
kasus penerapan terapi aktipitas kelompok sosialisasi pada klien menarik diri.
1.4.4
Bagi Instansi
RSJP Mataram
Mampu mengaplikasikan ilmu keperawatan khususnya
penerapan TAK (Sosialisasi) pada klien menarik diri.
|
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Tentang
Menarik Diri
2.1.1
Pengertian
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari
interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Sutrisno,
2008). Menurut Townsend, M.0 (1998) Menarik diri merupakan suatu keadaan dimana
seseorang menemukan kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan
orang lain. Sedangkan menurut Depkes RI (1989).Penarikan diri atau withdrawal
merupakan suatu tindakan melepaskan diri baik perhatian ataupun minatnya
terhadap lingkungan sosial secara langsung yang dapat bersifat sementara atau
menetap. Jadi menarik diri adalah keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan
dalam membina hubungan dan menghindari interaksi dengan orang lain secara
langsung yang dapat bersifat sementara atau menetap.
2.1.2
Etiologi
Menarik diri merupakan salah satu respon maladaftipe yang berada dalam rentan
sosial (Sutrisno, 2008). Adapun faktor pedisposisi dan presipitasi dari menarik
diri adalah sebagai berikut :
1) Fredisposisi(Pendukung)
a.
5
|
Pada masa tumbuh kembang individu ada perkembangan
tugas yang harus di penuhi agar tidak terjadi ganguan dalam hubungan sosial.
Tugas perkembangan ini pada masing-masing tahap
mempunyai spesifikasi tersendiri, misalnya pada fase oral dimana tugas dalam
membentuk rasa saling percaya tidak terpenuhi akan menghambat fase perkembangan
selanjutnya, antara lain perasaan curiga.
Tabel 2.1 Tugas Perkembangan
Berhubungan Dengan Interpersonal (Stuart, 1998
Tahap Perkembangan
|
Tugas
|
Masa
bayi
Masa
bermain
Masa
praskolah
Masa
para remaja
Masa
remaja
Masa
dewasa muda
Masa
tengah baya
|
Menetapkan
landasan percaya
Mengembangkan
otonomi dan awal perilaku mandiri
Belajar
menunjukkan inisiatif dan rasa tanggung jawab dan hati nurani
Belajar
berkomptensi, bekerjasama dan berkompromi
Menjadi
intim dengan teman sesama jenis kelamin
Menjadi
intim dengan lawan jenis kelamin dan tidak terganggu pada orang tua
Menjadi
saling tergantung dengan orang tua, teman menikah dan mempunyai anak
Belajar
menerima
Berduka
karena kehilangan dan mengembangkan perasaan ketertarikan dengan budaya
|
b. Faktor
Komunikasi Dalam Keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga, merupakan salah
satu faktor pendukung untuk terjadinya gangguan hubungan sosial. Dalam teori
ini termasuk diantaranya adalah komunikasi yang tidak jelas,dimana seorang
anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu bersamaan,
ekpresi emosi yang tinggi dalam keluarga untuk berhubungan diluar lingkungan
keluarga.
c. Faktor
Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari
lingkungan sosial merupakan suatu faktor pendtikung untuk terjadi gangguan dalam
hubungan sosial. Hal ini disebabkan oleh norma-norma yang dianut oleh keluarga
yang salah, dimana setiap anggota keluarga yang tidak produktif diasingkan dari
orang
d. Faktor
Biologis Atau Gen
Faktor keturunan juga merupakan faktor pendukung
terjadinya gangguan dalam hubungan sosial.Organ tubuh yang jelas mengalami
perubahan adalah otak.
2) Faktor
presipitasi (Pencetus)
Faktor stresor presipitasi ini dikelompokkan sebagai
berikut: (Stuart, 1998)
a. Stresor
sosial budaya
Stres yang ditimbulkan oleh sosial budaya ini antara
lain adalah keluarga yang labil, terpisah oleh orang terdekat.
b. Faktor
Hormonal
Gagguan dari fungsi kelenjar bawah otak menyebabkan
turunnya hormon FSH dan LH.Kondisi ini terdapat pada pasien skizofrenia.
c. Hipotesis
virus
Virus HIV menyebabkan perubahan atau kelainan
keperibadian (kejiwaan).
d. Hipotesis
Bilogikal Lingkungan Sosial
Tubuh akan menggambarkan ambang toleransi seseorang
terhadap setres, pada saat terjadi interaksi dengan stresor lingkungan sosial.
e. Stresor
Psikologik
Yang lebih nyata adalah kecemasan yang cukup berat
dengan terbatasnya kemampuan dalam menyelesaikan kecemasan tersebut.
2.1.3
Pohon Masalah
Menurut (Budi Anna Keliat, 2005)
Resiko mencedrai diri sendri, orang lain, dan
lingkungan
Gangguan
perubahan persepsi sensori:
Halusinasi
dengar
Gangguan
hubungan sosial:
Menarik
diri
Gangguan
konsep diri:Harga diri rendah
Koping individu inefektif
Koping individu inefektif berhubungan dengan
gangguan konsep diri :Harp diri rendah sehingga terjadinya gangguan hubungan
sosial :Menarik diri dan gangguan perubahan persepsi sensori:Halusinasi dengar
yang bisa menyebabkan terjadinya Resiko mencedrai diri sendri,orang lain dan
lingkungan.
2.1.4
Tanda dan Gejala
Menarik Diri
Menurut Kliat (2005) tanda dan gejala menarik diri adalah
sebagai berikut:
1) Apatis,
ekspresi sedih, efek tumpul.
2) Menghindar
dari orang lain (menyendiri)
3) Komunikasi
kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakapcakap dengan klien lain/perawat.
4) Tidak
ada kontak mata, klien sering menunduk.
5) Berdiam
diri di kamar/klien kurang mobilitas
6) Menolak
berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan atau pergi jika
diajak bercakap-cakap.
7) Tidak
melakukan kegiatan sehari-hari..
8) Kurangnya
perawata diri.
2.1.5
Masalah
Keperawatan
1) Resiko
mencidrai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
2) Gangguan
perubahan persepsi sensori Halusinasi dengar
3) Gangguan
Hubungan Sosial : Menarik diri
4) Gangguan
konsep diri Harga diri rendah
5) Koping
individu Inefektif
2.1.6
Penatalaksanaan
1) Keperawatan
Menurut Mansanjoer (1999) penatalaksanaan
keperawatan pada klien menarik diri adalah sebagai berikut:
Perinsip
umum:
a) Pendekatan
perindividu
b) Farmakoterapi
(antipsikotik) haru ditunjang dengan psikoterapi
c) Satu
macam pendekatan terapi tidak cukup
Tujuan mama perawatan di RS adalah ikatan efektif
antara pasien dengan sistem pendukung masyarakat.
Indikasi
rawat:
a) Keperluan
diagnostik dan terapi.
b) Keamanan
pasien karena ide-ide bunuh diri.
2) Medis
Therapy
Psikofrinnaka
Pengobatan penderita menarik diri ditujukan pada
gejala-gejala yang menonjol. Apabila menonjol berupa gaduh gelisah, agresif,
delusi, halusinasi, sulit tidur dapat diberikan anti psikosis dengan dosis
efektif besar, seperti Chlorpromazin 100 mg dalam bentuk oral/injeksi sesuai
dengan keadaan klien. Dosis diberikan 100-200 mg/hari dan dapat dinaikkan
sesuai kebutuhan, sebelumnya pemeriksaan internis/neurologist hendaknya dalam
batas normal. Klien Skizofrenia dengan delusi menonjol, tidak/kurang gangguan
tidur dapat diberikan Trifluoperasin 5 mg (1-2) kali sehari atau Haloperidol 2
mg (2) kali sehari. Klien Skizofrenia katatonik dapat diberikan Pimozit 4 mg
(1) kali sehari, yang kronis diberikan Fluoferasin Deconoat Injeksi (Modecate)
2cc/im, 2 minggu atau 1 bulan satu kali. (Maramis, 1998)
Pada penderita menarik diri, obat anti psikotis
dengan dosis efektif seperti Chlorpromazin injeksi, stelazine juga diberikan,
dimana efek sampingnya dapat menimbulkan sindrom Parkinson, untuk mengatasi
efek samping tersebut dapat diberikan obat antikolinergik yaitu Trihexyphynidil
atau Artane 2mg (1-2) kali sehari (Maramis, 1998).
Therapy kejang listrik adalah pengobatan untuk
menimbulkan kejang grandmall secara artificial dengan melewatkan aliran listrik
dapat diberikan pada satu atau dua taples. Therapy kejang listrik dapat
diberikan pada Skizofrenia katatonik stufor atau Skizofrenia yang tidak mempan
dengan therapy neuroleptika oral/injeksi. Dosis therapy kejang listrik 4-5
joule/ second diberikan selama 2-3 detik (Kaplan dan sadock, 1997
2.2 Konsep Terapi
Aktifitas Kelompok (TAK)
2.2.1
Konsep Kelompok
A. Pengertian
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki
hubungan satu dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama
(Stuart dan Laraia, 2001).
Anggota kelompok mungkin datang dari berbagai latar
belakangyang harus ditangani sesuai dengan keadaannya, seperti agresif, takut,
kebencian, ketidaksamaan, kesamaan, kesukaan, dan menarik (Stuart dan Laraia,
2001).
Semua kondisi ini akan mempengaruhi dinamika
kelompok, ketika anggota kelompok memberi dan menerima umpan balik yang berarti
dalam berbagai interaksi yang terjadi dalam kelompok.
B. Tujuan
dan Fungsi Kelompok
Tujuan kelompok adalah membantu anggotanya
berhubungan dengan orang lain serta mengubah perilaku yang maladatif.
Kelompok berfungsi sebagai tempat berbagi pengalaman
dan saling membantu satu sama lain, untuk menemukan cara menyelesaikan masalah.
Kelompok merupakan laboratorium tempat mencoba dan menemukan hubungan
interpersonal yang baik, serta mengembangkan perilaku yang perilaku yang
adaptif. Anggota kelompok merasa dimiliki, diakui, dan dihargai eksistensinya
oleh anggota kelompok yang lain, (Kliat, 2005).
C. Komponen
Kelompok
Menurut Kliat (2005) kelompok terdidri dari delapan
aspek, sebagai berikut:
1. Struktur
Kelompok
Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi,
proses pengambilan keputusan, dan hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur
kelompok menjaga stabilitas dan membantu pengaturan pola perilaku dan
interaksi.Struktur dalam kelompok diatur dengan adanya pemimpin dan anggota,
arah komunikasi dipandu oleh pemimpin, sedangkan utusan diambil secara bersama.
2. Besar
Kelompok
Jumlah kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil
yang anggotanya berkisar antara 5-12 orang. Jumlah anggota kecil menurut Stuart
dan Laraia (2001) adalah 7-10 orang, menurut Lancester (1980) adalah 10-12
orang, sedangkan menurut Rawlins, Williams, dan Beck (1993) adalah 5 -10 orang.
Jika anggota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua anggota mendapat
kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat dan pengalamannya.Jika terlalu
kecil, tidak cukup variasi informasi dan interkasi yang terjadi.
3. Lamanya
Sesi
Waktu optimal ntuk satu sesi adalah 20-40
menit.Biasanya dimulai dengan pemanasan berupa orientasi, kemudian tahap kerja,
dan finishing berupa terminasi.Banyaknya sesi bergantung pada tujuankelompok,
dapat satu kali / dua kali perminggu atau dapat encanakan sesuai dengan
kebutuhan.
4. Komunikasi
Salah satu tugas pemimpin kelompok yang terpenting
adalah mengobservasi dan menganalisis pula komunikasi dalam kelompok nimpin
menggunakan umpan baik untuk rnemberi kesadaran pada anggota kelompok terhadap
dinamika yang terjadi.
5. Peran
Kelompok
Ada tiga peran dan fungsi kelompok yang ditampilkan
anggota kelompok dalam kerja kelompok, yaitu (Berne dan Sheats, 1948
dalamstuart dan Laraia, 2001) maintenance roles, task roles, dan individual
roles. Maintenance roles, yaitu peran serta aktif dalam proses kelompok dan
fungsi kelompok. Task roles, yaitu focus pada penyelesaian tugas. Individual
roles adalah self centered dan distraksi pada kelompok.
6. Kekuatan
Kelompok
Kekuatan (power) adalah kemampuan anggota dalam
kelompokmempengaruhi berjalannya kegiatan kelompok.Untuk menetapkan kekuatan
anggota kelompok yang bervariasi diperlukan kajian siapa yang paling banyak
mendengar, dan siapa yang membuat keputusan dalam kelompok.
7. Norma
Kelompok
Norma adalah standar perilaku yang ada dalam
kelompok. Pengharapan terhadap perilaku kelompok pada masa yang akan datang berdasarkan
pengalaman masa lalu dan saat ini. Pemahaman tentang norma kelompok berguna
untuk mengetahui pengaruhnya terhadap komunikasi dan interaksi dalam kelompok.
Anggota kelompok yang tidak mengikuti norma dianggap pemberontak dan ditolak
anggota kelompok lain.
8. Kekohesifan
Kekoliesifan adalah kekuatan anggota kelompok
bekerja sama dalam mencapai tujuan. Hal ini mempengaruhi anggota kelompok untuk
tetap betah dalam kelompok. Pemimpin kelompok (terapis) perlu melakukan upaya
agar kekohesifan kelompok dapat terwujud, seperti mendorong anggota kelompok
bicara satu sama lain, diskusi dengan kata-kata “kita”, menyampaikan kesamaan
anggota kelompok, membantu anggota. kelompok untuk mendengarkan ketika yang
lain bicara. Kekohesifan perlu diukur melalui seberapa sering antar anggota
memberi pujian dan mengungkapkan kekaguman satu sama lain.
D. Perkembangan
Kelompok
Kelompok
sama dengan individu, mempunyai kapasitas untuk tumbuh dan kembang. Pemimpin
akan mengembangkan kelompok melaluiempat fase, yaitu fase prakelompok, fase
awal kelompok, fase kerja kelompok, fase terminasi kelompok.
1. Fase
Prakelompok
Hal penting yang harus diperhatikan ketika memulai
kelompok adalah tujuan dari kelompok, dimana ketercapaian tujuan sangat
dipengaruhi oleh perilaku pimpinan dan pelaksanaan kegiatan kelompok untuk
mencapai tujuan tersebut.Untuk itu per1u disusun panduan pelaksanaan kegiatan
kelompok. Garis besar isi panduan pelaksanaan kegiatan kelompok adalah daftar
tujuan umurn dan khusus, daftar pemimpin kelompok disertai keahliannya, daftar
kerangka teoritis yang akan digunakan pemimpin untuk mencapai tujuan, daftar kriteria
anggota kelompok, uraian proses seleksi anggota kelompok, uraian struktur
kelompok, tempat sesi, waktu sesi, jumlah anggota, jumlah sesi, perilaku
anggota yang diharapkan, dan perilaku pemimpin yang diharapkan, uraian tentang
proses evaluasi anggota kelompok dan kelompok, uraian alat dan sumber yang
dibutuhkan. Proposal dapat pula berupa pedoman atau panduan menjalankan
kegiatan kelompok.
2. Fase
Awal Kelompok
Fase ini ditandai dengan ansietas karena masuknya
kelompok baru, dan peran yang baru.Yalom (1995) dalam Stuart dan Laraia (2001)
membagi fase ini menjadi tiga fase, yaitu, fase orientasi, konflik dan kohesif.
a. Tahap
Orientasi
Pada tahap ini pemimpin kelompok lebih aktif dalam
memberi pengarahan. Pemimpin kelompok mengorientasikan anggota pada tugas utama
dan melakukan kontrak yang terdiri dari tujuan, kerahasiaan, waktu pertemuan,
struktur, kejujuran, dan aturan komunikasi, misalnya hanya satu orang yang
bicara pada satu waktu, norma perilaku, rasa memiliki, atau kohesif antara
anggota kelompok diupayakan terbentuk pada fase orientasi.
b. Tahap
Kontlik
lieran dependen dan independent terjadi pada tahap
ini, sebagian ingin pemimpin yang memutuskan dan sebagian ingin pemimpin lebih
mengarahkan, atau sebaliknya anggota ingin berperan sebagai pemimpin.
c. Tahap
Kohesif
Setelah tahap konflik, anggota kelompok merasakan
ikatan yang kuat satu sama lain. Perasaan positif akan semakin sering
cliungkapkan. Pada tahap ini, anggota kelompok merasa bebas membuka diri
tentang informasi dan lebih intim satu sama lain. Pemimpin tetap berupaya
memberdayakan kemampuan anggota kelompok dalam melakukan penyelesaian
masalah.Pada tahap akhir fase ini, tiap anggota kelompok belajar bahwa perbedaan
tidak perlu ditakutkan. Mereka belajar persamaan danperbedaan, anggota kelompok
akan membantu pencapaian tujuan yang menjadi suatu realitas.
3. Fase
Kerja Kelompok
Pada fase ini, kelompok sudah menjadi tim. Walaupun
mereka bekerja keras, tetapi menyenangkan bagi anggota dan pemimpin
kelompok.Kelompok menjadi stabil dan realistis.
Tugas pemimpin adalah membantu kelompok mencapai tujuan dan tetap menjaga kelompok
kearah pencapaian tujuan. Serta mengurangi dampak dari faktor apa saja yang
dapat mengurangi produktivitas kelompok. Selain itu, pemimpin juga bertindak
sebagai konsultan.
Pada akhir fase ini, anggota kelompok menyadari
produktivitas dan kemampuan yang bertambah disertai percaya diri dan
kemandirian.Pada kondisi ini kelompok segera masuk ke fase berikut, yaitu
perpisahan.
4. Fase
Terminasi
Terminasi dapat sementara (temporal) atau akhir. Terminasi
dapat pula terjadi karena anggota kelompok atau pemimpin kelompok keluar dari
kelompok.
Evaluasi umumnya difokuskan pada jumlah pencapaian
baik kelompok maupun individu.Pada tiap sesi dapat pula dikembangkan instrument
evaluasi kemampuan individual dari ariggota kelompok.Terminasi dapat dilakukan
pada akhir tiap sesi atau beberapa sesi yang merupakan paket dengan
memperhatikan pencapaian tertentu. Terminasi yang sukses ditandaioleh perasaan
puas dan pengalaman kelompok akan digunakan secara individual pada kehidupan
sehari-hari
Pada akhir sesi, perlu dicatat atau didokumentasikan
proses yang terjadi berupa catatan implementasi tindakan keperawatan tentang
pencapaian dan perilaku yang perlu dilatih pada klien diluar sesi (Kliat,
2005).
2.2.2
Konsep Terapi
Kelompok (TAK)
A. Pengertian
Terapi Aktifitas kelompok (TAK) adalah upaya
memnfasilitasi kemampuan sosialisasi sejumlah klien dengan masalah hubungan
sosial (Kliat dan Akmat, 2005)
B. Jenis
Terapi Aktifitas Kelompok (TAK)
Terapi aktivitas kelompok Rawlins, Williams dan Beck
(1993) metnbagi kelompok menjadi tiga yaitu terapi kelompok terapeutik dan
terapi aktivitas kelompok.
1. Terapi
Kelompok
Terapi kelompok adalah metode pengobatan ketika
klien ditemui dalam rancangan waktu tertentu dengan tenaga yang memenuhi
persyaratan tertentu. Focus terapi kelompok adalah membuat sadar diri (self-awereness), peningkatan hubungan
interpersonal, membuat perubahan, atau ketiganya.
2. Kelompok
Terapeutik
Kelompok terapeutik membantu mengatasi stress emosi,
penyakit fisik krisis, tumbuh kembang atau penyesuaian social, misalnya,
kelompok wanita hamil yang akan menjadi ibu, individu yang kehilangan, dan
penyakit terminal. Banyak kelompok terapeutik yang dikembangkan menjadi self-help-group. Tujuan dari kelompok
ini adalah sebagai berikut:
a. Mencegah
masalah kesehatan
b. Mendidik
dan mengembangkan potensi anggota kelompok
c. Meningkatkan
kualitas kelompok. Antara anggota kelompok sating membantu dalam menyelesaikan
masalah.
3. Terapi
Aktivitas Kelompok
Terapi aktivitas kelompok dibagi empat, yaitu terapi
aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok
stimulasi sensori, terapi aktivitas stimulasi realita dan terapi aktivitas
kelompok sosialisasi.
a) Terapi
Aktivitas Kelompok Stimulasi Kognitif/Persepsi
Aktivitas berupa stimulus dan persepsi. Stimulus
yang disediakan antara lain adalah baca artikel/majalah/buku/puisi, menonton
acara TV (ini merupakan stimulus yang disediakan), stimulus dari pengalaman
masa lalu yang menghasilkan proses persepsi klien yang maladaptive, misalnya
kemarahan, kebencian, putus hubungan, pandangan negative pada orang lain dan
halunsinasi
b) Terapi
Aktivitas Kelompok Stimulasi Sensori
Aktivitas digunakan sebagai
stimulasi pada sensori klien. Kemudian diobservasi reaksi sensori klien
terhadap stimulus yang disediakan, berupa ekspresi perasaan secara nonverbal
(ekspresi wajah, gerakan tubuh), biasanya klien yang tidak amu mengungkapkan
komunikasi verbal akan testimulasi emosi dan perasaannya, serta menampilkan
respons. Aktivitas yang digunakan sebagai stimulus adalah Musik, seni,
menyanyi, menari. Jika klien diketahui sebelumnya, dapat dipakai sebagai
stimulus misalnya lagu kesukaan klien dapat digunakan sebagai stimulus
c) Terapi
aktivitas kelompok orientasi realita
Klien diorientasikan pada kenyataan
yang ada disekitar klien yaitu diri sendiri, orang lain yang ada disekeliling
klien atau orang yang dekat dengan klien dan lingkungan yang pernah mempunyai
hubungan dengan klien yang lalu dan rencana kedepan. Aktivitas dapat berupa
orientasi orang, waktu, tempat, benda yang ada disekitar dan semua kondisi.
d) Terapi
Aktifitas Kelompok sosialisasi (TAKS)
Terapi aktivitas kelompok (TAK): sosialisasi adalah
upaya memfasilitasi kemampuan sosialisasi klien dengan masalah hubungan sosial.
Tujuan umum TAKS yaitu, klien dapat memiliki
hubungan sosial dalam kelompok secara bertahap. Sesuai tujuan khususnya adalah:
1) Klien
marnpu memperkenalkan diri dimana aspek yang dinilai yaitu:
a. Menyebutkan
nama lengkap
b. Menyebutkan
nama panggilan
c. Menyebutkan
asal
d. Menyebutkan
hobi
2) Klien
mampu berkenalan dengan anggota ke dimana aspek yang dinilai yaitu:
a. Menyebutkan
nama lengkap
b. Menyebutkan
nama panggilan
c. Menyebutkan
asal
d. Menyebutkan
hobi
e. Menyebutkan
nama lengkap
f. Menyebutkan
nama panggilan
g. Menanyakan
asal
h. Menanyakan
hobi
3) Klien
mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok dimana aspek yang dinilai yaitu:
a. Mengajukan
pertanyaan yang jelas
b. Mengajukan
pertanyaan yang ringkas
c. Mengajukan
pertanyaan yang relevan
d. Mengajukan
pertanyaan yang secara spontan
4) Klien
mampu menyampaikan dan membicarakan topik percakapan dimana aspek yang dinilai
yaitu:
a. Menyampaikan
topik dengan jelas
b. Menyampaikan
topik secara ringkas
c. Menyampaikan
topik yang relevan
d. Menyampaikan
topik secara spontan
5) Klien
mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi pada orang lain dimana
aspek yang dinilai yaitu:
a. Menyampaikan
topik dengan jelas
b. Menyampaikan
topik secara ringkas
c. Menyampaikan
topik yang relevan
d. Menyampaikan
topik secara spontan
6) Klien
mampu bekerja sama dalam perminan sosialisai kelompok dimana aspek yang dinilai
yaitu:
a. Bertanya
dan meminta dengan jelas
b. Bertanya
dan meminta dengan ringkas
c. Bertanya
dan meminta secara relevan
d. Bertanya
dan meminta secara spontan
7) Klien
mampu menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan TAKS yang telah dilakukan
dimana aspek yang dinilai yaitu:
a. Menyebutkan
manfaat secara jelas
b. Menyebutkan
manfaat secara ringkas
c. Menyebutkan
manfaat yang relevan
d. Menyebutkan
manfaat secara spontan
2.2.3
Prosedur TAKS
Menurut Purwaningsih (2010) prosedur TAKS adalah
sebagai berikut:
Tabel 2.1
Prosedur TAKS
No
|
|
A
|
PERSIAPAN
|
1
|
Membuat kontrak dengan klien sesuai
indikasi
|
2
|
Mempersiapkan alat dan tempat (peserta
duduk melingkar dalam suasana ruang yang tenang dan nyaman)
|
No
|
|
B
|
ORIENTASI
|
1
|
Mengucapkan salam terapiutik
|
2
|
Menanyakan perasaan klien hari ini
|
3
|
Menjelaskan tujuan kegiatan
|
4
|
Menjelaskan
aturan main :
-
Klien harus mengikuti kegiatan
awal sampai akhir
-
Bila ingin keluar dari kelompok
harus minta izin dari terapis
-
Lama kegiatan 60 menit
|
No
|
|
C
|
KERJA
|
1
|
Membagi kertas dan spidol
|
2
|
Menjelaskan pentingnya memiliki tujuan
hidup agar bersemangat berusaha mewujudkan dan optimis
|
3
|
Meminta pasien untuk menuliskan
masing-masing tujuan hidup dikertas
|
4
|
Meminta
pasien membacakan tujuan hidupnya yang telah ditulisnya secara berurutan dan
bergiliran
|
5
|
Terapis memberikan pujian, setiap kali
pasien membacakan tujuan hidupnya
|
6
|
Meminta pasien melihat kembali tujuan
hidupnya mencoret tujuan yang sulit dicapai
|
7
|
Meminta pasien membaca ulang tujuan
hidup yang benar-benar realistis
|
8
|
Terapis memberikan tujuan, setiap kali
pasien selesai membacakan tujuan hidupnya
|
No
|
|
D
|
TERMINASI
|
1
|
Menanyakan perasaan pasien setelah
mengikuti TAK
|
2
|
Memberikan pujian atas pencapaian
kelompok
|
3
|
Menganjurkan agar pasien untuk
mengekspresikan perasaan melalui gambar
|
4
|
Membuat
kontrak kembali untuk TAK berikutnya
|
2.2.4
Aktivitas dan
Indikasi
Aktivasi TAKS dilakukan tujuh sesi
yang melatih kemampuan sosialisasi klien dengan gangguan hubungan sosial
sebagai berikut:
a. Klien
menarik diri yang telah mulai melakukan interaksi interpersonal
b. Klien
kerusakan komunikasi verbal yang telah berespon sesuai dengan stimulus.
2.2.5
Penerapan Data
Sesuai Dengan Pendekatan Penelitian
Untuk mempermudah cara mengikuti uraian pengolahan
data, akan di sajikan dengan tehnik deskriftif di kelompokkan sesuai subvariasi
yang di teliti, pembobotan untuk masing-masing kategori di prosentasikan dan
diinterprestasikan dengan menggunakan skala:
83%-100% = Mampu Bersosialisasi
65%-82% = bersosialisasi
Kurang Dari 64% = Tidak: Mampu
Besosialisasi
|
28
|
KERANGKA KONSEPTUAL
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian adalah
abstrak dari suatu realitas agar dapat dikomunkasikan dan membentuk suatu teori
yang menjelaskan antar variabel (baik variabel yang diteliti maupun tidak
diteliti) (Nursalam, 2003 : 55)
Gambar 3.1
Kerangka Konseptual
Penerapan
Terapi aktifitas kelompok
“sosialisasi”
Pada klien menarik diri
|
Hasil
penerapan TAKS :
-
Mampu
-
Tidak Mampu
|
|
|
:
Tidak diteliti
27
|
3.2 Definisi
Operasional
Table 3.2 difinisi operasional
Variabel
|
Definisi
Opersional
|
Alat
Ukur
|
Parameter
|
Skor
|
Gambaran
hasil penerapan terapi aktifitas kelompok “sosialisasi” pada klien menarik
diri
|
Hasil
dari terapi aktivitas yang diberikan kepada pasien yang menarik diri yaitu
pasien mampu bersosialisasi
|
Cek
Lis
|
1.
Klien mampu menyebutkan nama
lengkap
2.
Klien mampu menyebutkan nama
panggilan
3.
Klien mampu menyebutkan asal
4.
Klien mampu menyebutkan hobi
|
Jika
:
-
Mampu : nilai 3 dan 4
-
Tidak Mampu : nilai 0,1, dan 2.
(Budi Anna Keliat dan
Akemat, 2012)
|
|
|
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan
Penelitian
Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode
penelitian yang di lakukan dengan tujuan utama membuat gambaran atau deskriptif
tentang suatu keadaan secara objektif (Notoadmojo, 2005).
4.2 Populasi Dan
Sampel
4.2.1
Populasi
Populasi adalah keseluruhan elemen/subjek penelitian
(Notoatmodjo, 2005)
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien
dengan menarik diri di ruang Dahlia RSJ Propinsi Mataram dengan jumlah 8 orang.
4.2.2
Sampel
Sampel adalah sebagian dari seluruh objek yang
diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005; 79).
4.2.3
Besar Sampel
Besar sampel dalam penelitian ini menggunakan sampel
jenuh (total populasi) di mana besar sampel dalam penelitian ini berdasarkan
jumlah populasi yang di temukan (Nursalam, 2008).
29
|
4.3 Variabel
Penelitian
Variabel adalah kajian utama dari masalah yang akan
di jadikan acuan variabel penelitian (Nursalam, 2003).
Variabel penelitian ini adalah gambaran hasil
penerapan terapi aktifitas kelompok “sosialisasi” pada klien menarik diri.
4.4 Lokasi dan Waktu
Penelitian
4.4.1
Lokasi
Penelitian
Penelitian ini di lakukan di ruang Dahlia RSJ
Propinsi Mataram.
4.4.2
Waktu Penelitian
Waktu dalam penelitian ini adalah dari tanggal 22
sampai dengan tanggal 30 Agustus 2012.
4.5 Pengumpulan Data
Dalam proses pengumpulan data ada beberapa langkah
yang digunakan oleh peneliti di antaranya:
4.5.1
Meminta izin
kepacia instansi prodi keperawatan (D III) Universitas Nandlatul Wathan.
4.5.2
Meminta
data-data di ruangan Dahlia tentang jumlah klien menarik diri di RSJP Mataram
4.5.3
Melakukan
Observasi langsung keruang perawatan sesuai dengan data yang diterima
4.5.4
Memilih klien
yang sesuai dengan subjek penelitian.
4.5.5
Tekhnik yang digunakan
dalam studi kasus ini adalah metode observasi secara langsung, observasi akan
dilakukan oleh peneliti pada setiap melakukan terapi ktivitas kelompok.
4.5.6
Pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan lembar observasi berupa Cek List (√) merupakan sutu
daftar pengecek, berisi subjek dan identitas lain dari sasaran pengamatan
(Saryono, 2008).
4.6 Pengolahan Data
Penelitian ini menggunakan tekhnik deskriftif dengan
porsentase yaitu setelah data terkumpul kemudian ditabulasi dan dikelompokkan
sesuai dengan subvariasi yang diteliti dan diberi pembobotan untuk
masing-masing soal sesuai dengan subjek yang diteliti (Arikunto,2002).
Pengolahan dan pengumpulan data menurut Arikunto
(1998) adalah data yang terkumpul dari cek list. Jika ditemukan pada klien diberikan
tanda (√) dan jika tidak ditemukan pada klien di berikan nilai (X).
Kemudian jumlahkan kemampuan yang ditemukan, jika
nilai 3 dan 4 klien dinyatakan mampu dan jika nilai 0, 1, atau 2 klien dinyatan
belum mampu.
4.7 Penyajian Data
Penyajian data yang digunakan oleh peneliti adalah
data disajikan secara narasi dan disertai dengan ungkapan verbal dari subjek
penelitian.
4.8 Etika penelitian
Dalam penelitian studi kasus ini peneliti memiliki
beberapa prinsip dalam pertimbangan etika meliputi:
4.8.1
Informed
Consent
Yaitu persetujuan terrulis dari
subjek penelitian untuk dijadikan responden.Responden yang bersedia diminta
menandatangani lembar persetujuan dan responden yang tidak bersedia tetap dihormati
hak-haknya.
4.8.2
Anonimity
(Tanpa Nama)
Untuk menjaga kerahasiaan identitas
subjek penelitian, tidak dicantumkan nama responden pada lembar pengumpulan
data, peneliti hanya menggunakan inisial.
4.8.3
Confidential
(Kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi responden
dijamin peneliti hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai
hasil penelitian.
|
HASIL
PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum
Lokasi Penelitian
1. Data
Demografi RSJ Provinsi NTB
Rumah Sakit
Jiwa Propinsi NTB berlokasi di Jalan Ahmad Yani Nomor 1 Selagalas
Cakranegara, kurang lebih 3 km ke arah timur dari pusat kota Mataram.
Rumah Sakit Jiwa Propinsi NTB berdiri diatas lahan
seluas 60.000m2 dengan luas
bangunan 8.490 m2, dengan kapasitas tampung sejumlah 120
tempat tidur, dan peralatan medis yang tersedia terdiri dari ECT, EST, Stimulator, Dhiatermi, Faradasi,
EEG bermonitor, Tread Mild test, UGD
kit, Cell Dyn 1400, Drug monitor, Dental Unit, ECG, Auto Film Processor, dan
HRV Stress Analizer, sedangkan untuk
peralatan non medis terdiri dari komputer system jaringan, alat-alat musik, incinerator, dan fisioterapi set.
Rumah Sakit Jiwa Propinsi NTB memiliki fasilitas
yang memadai seperti: Poliklinik, UGD, Pemeriksaan untuk pasien narkoba, ruang
rawat inap untuk melayani pasien gangguan jiwa (Ruang Melati, ruang Mawar,
Dahlia, Angsoka, dan ruang Flamboyan), serta terdapat juga ruang rehabilitasi
untuk melakukan Terapi Aktivitas Kelompok.
2. Ketenagaan
RSJ Provinsi NTB
33
|
Tabel 8. Distribusi ketenagaan RSJ Provinsi NTB
Tahun 2012
No
|
Ketenagaan
|
Jumlah
|
1
2
3
4
5
6
|
Dokter Spesialis Jiwa
Dokter Umum
Dokter Gigi
Paramedis
a)
S1 Keperawatan Ners
b)
S1Keperawatan
c)
D III Keperawatan
d)
D III Perawat Spesialis Jiwa
e)
D III Keperawatan Gigi
Tenaga
Kesehatan lainnya
a)
S1 Farmasi
b)
Sarjana Kesehatan Masyarakat
c)
S1 Gizi
d)
D III Analis kesehatan
e)
D III Fisioterapis
f)
D III Perekam Medis
g)
D III Radiografer
h)
D III Gizi
Staf
Tata Usaha
|
1
13
1
11
9
45
8
2
3
3
5
1
2
3
4
3
30
|
Total
|
144 orang
|
3. Visi,
Misi, Budaya, Motto dan Nilai RSJ
Provinsi NTB
a. Visi
Rumah Sakit Jiwa
terakreditasi dan bersaing dengan sarana dan tenaga handal
b. Misi
1) Meningkatkan
iman, takwa dan ilmu pengetahuan
2) Meningkatkan
pelayanan kesehatan jiwa paripurna melalui pendekatan holistik dan
multidisiplin
3) Meningkatkan
kualitas dan kuantitas sumber daya manusia
4) Meningkatkan
dan mengoptimalkan pemanfaatan sarana prasarana Rumah Sakit.
5) Meningkatkan
sosialisasi dan mengembangkan kerjasama lintas program dan lintas sektor
c. Budaya
“Cepat, tanggap, dan
bertanggung jawab”
d. Motto
“Melayani dengan
empati”
e.
Nilai : “ BRAIN
“
B :
Beriman
R :
Ramah
A : Aktif
I : Inovatif
N : Normatif
4. Struktur
Organisasi
Rumah sakit jiwa propinsi NTB merupakan rumah sakit
dengan level II (Rumah Sakit tipe B). Adapun struktur organisasi Rumah Sakit
Jiwa Propinsi NTB berdasarkan Peraturan Daerah nomor 8 Tahun 2008 terdiri
dari :
a. Direktur
b. Sub.
Bagian tata usaha
c. Seksi
pelayanan medik
d. Seksi
penunjang medik
e. Seksi
keperawatan
f. Instalasi
g. Kelompok
jabatan fungsional.
5.2 Hasil Penelitian
1. Karakteristik
Responden
Karakteristik
responden pada penelitian ini dilihat berdasarkan umur dan jenis kelamin dan
katakteristik tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Karakteristik
Responden Berdasarkan Umur
Adapun
karakteristik responden berdasarkan umur di Ruang Dahlia RSJ Provinsi NTB, September
2012 dapat dilihat pada tabel dibawah
ini :
No
|
Umur
|
frekuensi
|
Persentase (%)
|
1
|
18-25
|
2
|
25
|
2
|
26-40
|
4
|
50
|
3
|
41-65
|
2
|
25
|
4
|
>65
|
0
|
0
|
Jumlah
|
8
|
100
|
Tabel 5.1 : Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Di Ruang Dahlia RSJ
Provinsi NTB, September 2012
Dari
Tabel 9 di atas dapat dilihat bahwa responden
yang berumur 26-40 tahun memiliki frekuensi yang lebih tinggi dibanding
kelompok umur yang lain yaitu 4 orang (50%) dari 8 responden.
b. Karakteristik
Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Adapun
karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin di Ruang Angsoka dan Mawar
RSJ Provinsi NTB, Maret 2012, dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 5.2 : Karakteristik
Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Di Ruang Dahlia RSJ Provinsi NTB, September
2012
No
|
Jenis Kelamin
|
Frekuensi
|
Persentase (%)
|
1
|
Pria
|
0
|
0
|
2
|
Wanita
|
8
|
8
|
Jumlah
|
8
|
100
|
Dari Tabel 10 di atas dapat dilihat
bahwa jumlah responden keseluruhan adalah wanita yaitu 8 orang (100%).
c. Identifikasi
kemampuan responden sebelum diberikan TAK Stimulasi Sosialisasi Sesi 1 :
Hasil observasi
kemampuan responden sebelum diberikan TAK Stimulasi Sosialisasi Sesi 1 dapat
dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel
5.3: Distribusi Kemampuan Responden Sebelum
Diberikan TAK Di Ruang Dahlia RSJ
Provinsi NTB
No
|
Kriteria
|
Frekuensi
|
Persentase (%)
|
1
|
Mampu
|
2
|
25
|
2
|
Tidak mampu
|
6
|
75
|
Jumlah
|
8
|
100
|
Dari tabel 11 diatas dapat dilihat bahwa sebagian
besar responden adalah yang tidak mampu bersosialisasi yaitu sebanyak 6
responden (75%) dari 8 responden.
d.
Identifikasi
kemampuan responden sesudah diberikan TAK Stimulasi Sosialisasi Sesi 1 :
Hasil observasi
kemampuan responden sesudah diberikan TAK Stimulasi Sosialisasi Sesi 1 dapat
dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 12: Distribusi Kemampuan Responden Sesudah Diberikan TAK Di Ruang Dahlia RSJ Provinsi NTB
No
|
Kriteria
|
Frekuensi
|
Persentase (%)
|
1
|
Mampu
|
8
|
100
|
2
|
Tidak mampu
|
0
|
0
|
Jumlah
|
8
|
100
|
Dari tabel 12 diatas dapat dilihat bahwa sebagian
besar responden mampu bersosalisasi yaitu sebanyak 8 responden (100%) dari 8
responden
BAB
VI
PEMBAHASAN
6.1
Umur
Berdasarkan
hasil penelitian dari 8 orang responden di RSJ Provinsi NTB yang mengikuti TAK Sosialisasi
sesi 1 dapat dilihat bahwa umur minimal adalah 21 tahun dan umur maksimalnya
adalah 48 tahun. Umur terbanyak responden berada pada usia 26-40 tahun, yaitu
sebanyak 4 responden (50%).
Umur
26-40 tahun termasuk dalam tahap perkembangan dewasa awal, pada tahap ini
mental dan psikologis individu masih belum matang. Hal ini diperkuat dengan
pernyataan Siagian (1995) didalam Wibowo (2001) yang menyatakan bahwa semakin
lanjut usia seseorang semakin meningkat pula kedewasaan tehnis dan tingkat
kedewasaan psikologisnya yang menunjukan kematangan jiwa, dalam arti semakin
bijaksana, mampu berpikir secara rasional, dapat mengendalikan emosi dan
bertoleransi terhadap orang lain.
Kemudian
menurut Stuart dan Laraia (2005) menyatakan umur berhubungan dengan pengalaman
seseorang dalam menghadapi berbagai macam stressor, kemampuan memanfaatkan
sumber dukungan-dukungan keterampilan kedalam mekanisme koping. Jadi
kesimpulannya semakin lanjut usia seseorang maka kemampuannya dalam menghadapi
stressor yang datang semakin bagus.
6.2
Identifikasi
kemampuan responden dalam bersosialisasi sebelum diberikan TAK sosialisas sesi 1.
Kemampuan bersosialisasi
sebelum diberikan TAK sosialisasi sesi 1 menunjukkan bahwa sebanyak 2 responden
(25%) dalam kategori mampu bersosialisasi dan 6 orang (75%) sisanya dalam
kategori tidak mampu bersosialisasi.
Dari hasil penelitian sebagian besar responden hanya
dapat menyebutkan dua dari 4 kategori sosialisasi, yaitu menyebutkan nama
lengkap dan menyebutkan nama panggilan. Responden banyak ditemukan dalam
keadaan apatis, ekspresi sedih, menghindar dari orang lain (menyendiri),
komunikasi kurang/tidak ada, tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain/perawat.
Menyendiri.
Menurut Budi Ana
keliat (2005) keadaan diatas dikarenakan kurangnya rangsangan/stimulus
berpikir, kurangnya dukungan dan belum terfasilitasinya klien dalam hubungan
interpersonal disebuah kelompok sehingga klien sulit mengembangkan perilaku
yang adaptif dan tidak mampu mengenal
masalah kesehatan yang dialaminya saat ini.
Pendapat Budi Ana keliat senada dengan
pendapat Sutrisno (2008) yang
mengatakan bahwa salah satu factor predisposisi klien menarik diri yaitu factor
social budaya. Hal ini disebabkan oleh norma-norma yang dianut oleh keluarga
yang salah, dimana setiap anggota keluarga yang tidak produktif diasingkan dari
orang.
Selain itu
menurut Rawlins klien dengan menarik
diri akan memperlihatkan penurunan fungsi ego. Pada awalnya menarik diri
merupakan keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan dalam membina hubungan
dan menghindari interaksi dengan orang lain secara langsung yang dapat bersifat
sementara ataun menetap.
6.3 Identifikasi
kemampuan responden dalam bersosialisasi setelah diberikan TAK sosialisasi sesi
1
Kemampuan bersosialisasi
setelah diberikan TAK sosialisasi sesi 1 menunjukkan sebanyak 8 responden
(100%) dalam kategori mampu bersosialisasi.
Setelah
dilakukan TAK sosialisasi sesi 1 seluruh responden mampu untuk bersosialisasi.
Jadi terdapat peningkatan kemampuan bersosialisasi responden sebelum dan
sesudah TAK sosialisasi sesi 1.
Salah satu
faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan kemampuan bersosialisasi
sebelum dan sesudah TAK sosialisasi adalah adanya ketertarikan responden
terhadap TAK yang sedang dilaksanakan. Terapi aktivitas kelompok mempunyai
kelebihan suportif terhadap setiap pasien. Kelompok dapat membantu klien
mengubah perilaku yang maladaptif menjadi adaptif.
Selain itu
menurut Budi Ana keliat (2005) didalam kelompok, klien dapat berbagi pengalaman
dan saling membantu satu sama lain untuk menemukan cara menyelesaikan masalah.
Kelompok merupakan labolatorium tempat mencoba dan menemukan hubungan
interpersonal yang baik serta mengembangkan perilaku yang adaptif. Dalam kelompok klien merasa dimiliki, diakui, dan dihargai
eksistensinya oleh anggota kelompok yang lain. Kekuatan kelompok ada pada
kontribusi dari setiap anggota dan pemimpin dalam mencapai tujuannya.
Salah satu tugas
pemimpin kelompok yang terpenting adalah mengobservasi dan menganalisis pola
komunikasi dalam kelompok. Pemimpin menggunakan umpan balik untuk memberi
kesadaran pada anggota kelompok terhadap dinamika yang terjadi. Pemimpin
kelompok dapat mengkaji hambatan dalam kelompok, konflik interpersonal, tingkat
kompetisi, dan seberapa jauh anggota kelompok mengerti serta melaksanakan
kegiatan yang dilaksanakan.
Selain itu tugas
pemimpin kelompok adalah menjaga stabilitas, membantu pengaturan pola perilaku,
pola interaksi dan membantu mengarahkan komunikasi. Walaupun pemimpin telah
melakukan tugasnya dengan baik, tidak serta merta akan merubah perilaku suatu
anggota kelompok.
Menurut
Notoadmojo (2007) didalam Carolina (2008) mengatakan bahwa pembentukan pola
tingkah laku dapat dilakukan dengan memberikan ganjaran atau penguatan positif
setelah tingkah laku yang diharapkan muncul. Penguatan yang dapat menjadi alat
yang ampuh dalam merubah tingkah laku antara lain adalah senyuman, pujian dan
hadiah.
Begitu pula ada
penelitian ini, untuk membentuk pola tingkah laku klien menjadi adaptif maka
diberikan penguatan positif berupa pujian dan hadiah berupa snack.
BAB
VII
KESIMPULAN
DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
1.
Kriteria responden berdasarkan umur
Berdasarkan hasil
penelitian dari 8 orang responden di RSJ Provinsi NTB yang mengikuti TAK Sosialisasi
sesi 1 dapat dilihat bahwa umur minimal adalah 21 tahun dan umur maksimalnya
adalah 48 tahun. Umur terbanyak responden berada pada usia 26-40 tahun, yaitu
sebanyak 4 responden (50%).
2. Kriteria
responden berdasarkan kemampuan responden dalam bersosialisasi sebelum
diberikan TAK sosialisas sesi 1
Kemampuan
bersosialisasi sebelum diberikan TAK sosialisasi sesi 1 menunjukkan bahwa
sebanyak 2 responden (25%) dalam kategori mampu bersosialisasi dan 6 orang
(75%) sisanya dalam kategori tidak mampu bersosialisasi.
3. kemampuan
responden dalam bersosialisasi setelah diberikan TAK sosialisasi sesi 1
Kemampuan bersosialisasi setelah diberikan TAK sosialisasi
sesi 1 menunjukkan sebanyak 8 responden (100%) dalam kategori mampu bersosialisasi.
7.2 Saran
1.
Bagi Instansi
RSJ Provinsi NTB
Untuk RSJ Provisi NTB diharapkan secara terus
menerus melakukan TAK pada pasien jiwa hususnya pada pasien dengan menarik
diri.
2.
Bagi FIK
Universitas Nahdlatul Wathan Mataram
Diharapkan untuk memasukkan proses TAK kedalam
proses blajar mengajar di kampus, dan praktek kerja lapangan, agar dapat
meningkatkan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa sehingga dapat terampil dalam
melakukan TAK pada pasien jiwa, hususnya pasien dengan menarik diri.
3.
Bagi penulis
Diharapkan
bagi peneliti selanjutnya untuk lebih menghususkan lagi penelitian ini, seperti
: melanjutkan kedalam bentuk hubungan, dan waktu penelitian lebih banyak lagi.
|
Arikunto, 2006, Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Rineka Cipta, Jakarta.
Kaplan & Sadock, 1997.Pocket Book of Emergency Psichyatric Nursing, EGC, Jakarta.
Kliat Budi Anna & Akemat, 2005, Terapi Aktifitas Kelompok.Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif, 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, Jakarta.
Maremis, WF, 1995. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya :Airlagga University Press.
Notoatmodjo, 2005.Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Nursalam, 2003.Konsep
dan Penerapan Metodologi Penelitian Emu Keperawatan.Jakarta : Medika.
Purwaningsih, 2010.Asuhan Keperaawatan Jiwa, Nuha Medika, Yogyakarta.
Stuart & Sunden, 1998, Pocket Guide to Psvkiatric Nursing. EGC, Jakarta.
Stuart & Laraia, 2001, Principles and Practice Qf Psiciatric Nursing, EGC. Wilson &
nesial, C.R. 1992. Psiciatric Nursing. California Adison :Wesley
Sutrisno, 2008, Konsep
Menarik Diri (http//:www.blogspot.com, diakses Tanggal 08 februari 2008).
Suyono, 2009, Buku
keperawatan Jiwa 1. EGC, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar